Minggu, 15 April 2018


Bijak Bermedia Sosial



Akhir-akhir ini media sosial memang menjadi suatu kebutuhan tersendiri bagi masyarakat terutama remaja. Perkembangan teknologi yang semakin canggih menawarkan kecepatan akses, kemudahan dan fleksibitas mencari konten yang dikehendaki. Menurut data yang diperoleh, Indonesia merupakan salah satu pengguna internet terbanyak dan menempati peringkat atas pengguna media sosial. Seratus juta pengguna lebih adalah penggila media sosial. Data tersebut diprediksi akan terus meningkat setiap tahun.

Peningkatan inilah yang perlu diperhatikan. Sebagian besar masyarakat setidaknya memiliki satu akun media sosial. Dampak yang terjadi akibat penggunaan media sosial ini terkadang tidak bisa dipungkiri lagi. Orang mendapatkan kebebasan untuk mengutarakan pendapat dan berbagai gagasan pikiran melalui akunnya. Muncul sebuah demokrasi online yang bisa menghubungkan para penggunanya. Tapi kejahatan dan tindakan asusila bisa terjadi melalui media sosial tersebut.

Media sosial memang bersifat ambivalen. Ibarat pedang bermata dua, media sosial memiliki dua sisi yang mempengaruhi penggunanya. Sisi positif dan negatif adalah hal yang pasti ditemui dari penggunaan media sosial. Bila seseorang bijak menggunakannya maka hal-hal positiflah yang akan didapatkan. Sebaliknya dengan asal memposting tanpa berpikir efek yang akan ditimbulkan, malah menjadi bumerang bagi pemilik akun.

Media sosial tak bisa disalahkan, konsekuensi menggunakan media sosial yang harus diantisipasi. Media sosial adalah wadah untuk memperluas jaringan sosial, menjadikan wadah mengungkapkan gagasan, dan untuk berbagi ide-ide positif. Kebebasan berbicara di media sosial bukan masalah kebablasan saja, namun cara pengguna dan apa saja konten yang diunggahnya yang perlu kita perbaiki. Untuk menjadi bijak bisa dimulai dari sendiri.

Di era kekinian lebih baik menggunakan media sosial dengan bijak daripada hanya untuk menyebar hoax, konten pornografi dan memaki orang lain. Media sosial dapat kita manfaatkan sebagai kebebasan untuk membuat konten yang inspiratif. Tidak usah muluk-muluk seperti motivator  profesional, bisa kita bagikan hal-hal kecil yang kita lakukan. Berkomentar untuk mengkritik bukan menjatuhkan. Selain itu media untuk menyebar informasi yang berguna di sekitar lingkungan. Jadi, baik dan buruknya media sosial tergantung bagamana kita menggunakannya dan konten apa yang kita akses.


ps.: sebenarnya ini tulisan yang lagi-lagi gagal masuk dapur redaksi salah satu media koran hehe. semoga bermanfaat aja buat yang udah baca ;)

Minggu, 11 Maret 2018

Filmologi: Review film A Trip to the Moon, The Great Train Robbery, Birth of A Nation, A Man with Movie Camera

Film bisu yang wajib kamu tonton!

Hai, lovely people! Pernahkah kalian menonton film bisu? Film sekarang mungkin sudah menarik dengan audio visualnya yang bikin wow karena special effect-nya. Empat film bisu yang saya review singkat ini mungkin membosankan. Tapi awal sejarah film sangatlah panjang hingga bisa seperti film saat ini. Jadi, saat nonton film bisu yang berperan penting dalam sejarah film ini, bayangkan dirimu seperti berada di zaman dulu. ;)



A Trip to The Moon
Judul asli:        Le Voyage Dan La Lune
Sutradara:       George Melies
Tanggal rilis:    1 September 1902
Genre: Short Film, Adventure, Fantasy, Sci-Fi
Negara: Perancis

Film Trip to The Moon menceritakan beberapa astronom yag melakukan perjalanan ke bulan. Di awal cerita sekumpulan astronom mendiksusikan rencana pergi ke bulan dan sempat terjadi perdebatan. Namun, akhirnya lima astronom berhasil berangkat menggunakan kapsul yang telah dibuat. Pendaratan di bulan yang lucunya digambarkan bulan memiliki mata hidung mulut seperti manusia. Kelima astronom kagum dengan keadaan di dataran asing yang berbeda dengan bumi. Makhluk bulan yang tiba-tiba muncul menculik mereka dan membawwanya ke kerajaan bulan. Tapi, akhirny kelima stronom tersebut kembli ke bumi dengan selamat dan di sambut dengan perayaan atas keberhasilan mendarat di bulan.
Alurnya pendek dan ceritanya terlihat sederhana. Di era nya film tanpa dialog seperti Trip to The Moon merupakan karya besar. Kisah perjalanan ke bulan dibuat seperti dongeng. Sutradara film ini mengambil beberapa kisah dari novel dan membuat gaya film seperti teater. Jika dillihat dengan teliti, banyak simbol yaang ditampilkan seperti bulan yang memiliki wajah dan penggambaran bagaimana manusia bisa ke bulan serta terdapat special efect, berbagai kostum, setting tempat unik. Penonton di zaman modern mungkin melihat di bulan tidak seperti dalam film ini. tapi di zaman manusia belum bisa melakukan perjlanan ke bulan, film ini layak dan menarik.

The Great Train Robbery
Sutradara:       Edwin S. Porter
Tanggal rilis:    December 1903 (USA)
Genre: Short, Action, Western
Negara: USA
Durasi: 11menit 30 detik
Aktor: Gilbert M. 'Broncho Billy' Anderson, A.C. Abadie, George Barnes

Sebuah film pertama yang menampilkan cerita naratif. Film ini menggambarkan sekelompok penjahat yang mengambil alih kendali kereta api dan merampok penumpangnya. Seorang petugas di sebuah stasiun kereta api ditahan di bawah todongan senjata oleh penjahat. Mereka menunggu di kantor lokomotif untuk menariknya dan kemudian naik, berniat mencuri kargo berharga. Adegan lainnya sebuah perayaan dan tarian berlangsung di kota, di mana seorang sheriff, yang diberi tahu tentang perampokan dan segera mengejar perampok tersebut.
Rangkaian pengambilan gambar dan tindakan sederhana sangat menghibur. Teknik menggerakkan kamera diterapkan dalam pengambilan adegan. Meskipun aktingnya tidak meyakinkan secara realistis, tapi itu adalah awal dari produksi film yang besar di masanya. Saat adegan memukuli di atas kereta api, terlihat sedikit pergantian orang yang dipukuli dengan boneka yang langsung dilempar begitu saja. Adegan penembakan juga cukup dramatis. Dan yang menarik adalah adegan terakhir film yang dikenal secara universal, menembak ke arah penonton film.


The Birth of Nation
Sutradara:       D.W. Griffith
Tanggal rilis:    21 Maret 1915 (USA)
Genre: Drama, Sejarah, Perang
Negara: USA
Durasi: 3 jam
Penulis : Thomas Dixon Jr. (adaptasi novel The Clansman: An Historical Romance of the Ku Klux Klan)
Aktor: Lillian Gish, Mae Marsh, Henry B. Walthall

Diceritakan dua bersaudara, Phil dan Ted Stoneman, mengunjungi teman mereka di Piedmont, South Carolina, yaitu keluarga Cameron. Hubungan mereka dipengaruhi oleh perang saudara yang terjadi, karena Stoneman dan Cameron harus bergabung melawan tentara lawan. Konsekuensi perang dalam kehidupan mereka ditunjukkan dengan peristiwa sejarah besar, perang yang terjadi, pembunuhan Presiden Lincoln, dan kelahiran Ku Klux Klan.
Ini adalah film narasi besar yang berdurasi panjang dan menggunakan dialog yang ditampilkan di layar. Namun di sisi subtansi terdapat stereotip dan pandangan rasis. Pandangan yang sangat simpatik dari mantan budak-budak kulit putih selatan di bawah Rekonstruksi. Para pahlawan di akhir film adalah Ku Klux Klan yang terlahir kembali, yang digambarkan menyelamatkan orang-orang selatan kulit putih yang miskin yang dikepung oleh gerombolan bekas budak pembunuh.
Griffith menggambarkan orang-orang Klannya melakukan pelanggaran terhadap orang kulit hitam, dia menganggap kejahatan ini sebagai pembenaran, dan berarti penonton merasa demikian. Contohnya termasuk pengadilan tiruan dan penghukuman seorang pria kulit hitam yang mengancam wanita kulit putih menyebabkan kematiannya. Meskipun mendapat kecaman di masanya, film ini menjadi awal munculnya film naratif dengan berdurasi panjang setelahnya.

A Man with Movie Camera
Judul lain : Chelovek s kino-apparatom
Sutradara : Dziga Vertov
Penulis skenario : Dziga Vertov
Tanggal Rilis : 12 Mei 1929 (USA)
Genre : Dokumenter, Musik
Aktor : Mikhail Kaufman
Durasi :1 jam 8 menit
Negara : Uni Soviet

Seorang pria menjelajahi kota dengan kamera yang dibawanya kemana-mana, dan mendokumentasikan kehidupan urban. Film ini terkenal karena mengenalkan segala jenis teknik kamera kepada khalayak. Beberapa di antaranya gambar ganda, gerak cepat, gerak lambat, potongan loncatan, layar terbelah, close-up ekstrim. Kita melihat proses pembuatan film seperti apa adanya, melihat juru kamera, melihat editornya, memilih dan memotong bagian yang nantinya disajikan di layar.  Artinya meskipun terlihat apa adanya jelas bahwa semua foto bergerak secara alami, tetap mengontruksi gambar untuk mengartikulasikan sudut pandang tertentu.
Film ini bergerak dengan kecepatan sesuai keadaan kota di Rusia waktu itu. Tidak ada dialog, dan memang tidak ada skenario, tidak ada tulisan, dan tidak ada karakter. Itu adalah serangkaian gambar, dan menunjukkan genre dokumenter. Pada masanya film ini sangat berpengaruh, karena teknik pengambilan gambarnya lebih dinamis dan teknik editing yang digunakannya. Penggambaran dalam film ini menarik seperti trik sulap dari gambar demi gambar seperti adegan benda yang bergerak sendiri.

Semoga bermanfaat :)